Minggu, 18 Desember 2011

"Aku Tidak Menyuruhmu Percaya Padaku."

Aku mengerutkan dahiku setelah melihat seseorang yang sejak tadi gelisah berjalan mondar mandir di hadapanku.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku padanya,
"Menurutmu memangnya aku sedang apa?" ujarnya hanya sekilas mengalihkan wajahnya ke arahku lalu kembali mondar-mandir dengan kedua tangan di belakang. Gayanya melebihi guru SD yang kehabisan gaya.
"Kau sedang membuatku pusing!" jawabku.
Dia menghentikan langkahnya tidak jauh dariku, menatap mataku dengan sedikit memiringkan kepalanya.
"Apa aku mengenalmu?"
"Aku nggak yakin."
"Tapi aku seperti mengenalmu." ujarnya.
Aku menaikkan bahu. "Nah, kupikir itu lebih baik. Sekarang duduklah, ceritakan padaku apa yang sedang kau risaukan?"
Dia menggeleng "Aku tidak semudah itu bicara pada seseorang."
"Bagaimana bisa?"
"Apa maksudmu? Aku memang tidak terbiasa."
"Oh, baiklah. Terserah kau saja!" aku pun menyilangkan kaki kananku santai.
Aku melihatnya kembali mondar-mandir dengan wajah yang terlipat di segala sudut. Aku kenal wajah seperti itu. Seperti itu cepat sekali menjalar lalu tanpa kau sadari kau akan melakukan hal yang sama dengannya. Aku pun membuka majalahku lalu mencoba membenamkan arah cahaya mataku ke huruf-huruf yang berbaris rapi sekali. Rasanya belum ada dua menit aku menyelesaikan paragraf kelima dari bacaanku sampai aku merasa seseorang duduk di sebelahku. Dia mencoba menghentikan bacaanku dengan menatap wajahku.
"Baiklah, rasanya aku memang butuh bicara, tapi aku malu."
"Aku tidak akan mengumumkannya di bagian informasi." jawabku diikuti senyumnya dan tawanya yang mengembang. Hanya sebentar sekali.
Dia masih terlihat menjaga elegansinya lalu menaikkan bahunya.
"Maafkan aku tapi aku sulit mempercayai seseorang sekarang."
"Aku tidak menyuruhmu percaya padaku." Aku mulai menutup majalah memperlihatkan padanya aku serius siap mendengarkannya.  "Tapi aku akan mendengarkan."
Dia menghela napasnya sebelum akhirnya bercerita. "Kupikir bukan di sini tempatku."
"Benarkah?"
Dia mengangguk.
"Aku tidak memiliki teman. Aku kesepian di sini." katanya berbisik.
Aku masih terdiam karena bukan sekali ini aku mendengar hal seperti itu.
"Jadi itulah alasannya kenapa kau ingin pergi?" tanyaku.
Dia mengangguk lagi hanya saja kali ini dia mengangguk sambil menggigit bibirnya.
"Bagaimana jika di tempat yang baru kau tidak menemukan apa yang kau cari?"
"Itulah aku yang takutkan."
"Tapi kau tidak akan pernah tahu sampai kau mencobanya."
Dia terdiam tidak menjawab. Wajahnya kini penuh dengan keraguan terhadap apa yang ingin dia lakukan. Jelas-jelas penerbangannya tinggal beberapa jam lagi.
"Jika ada sesuatu yang menahanmu, apa kau tetap akan pergi?" tanyaku.
"Aku bahkan tidak memiliki sesuatu yang bisa menahanku."
"Bagaimana dengan keluargamu?"
"Mereka akan baik-baik saja tanpaku."
"Jelas mereka tidak baik-baik saja." protesku karena bagiku dia mencari sesuatu yang tidak jelas sedangkan keluarga adalah hal yang pasti di hadapannya.
"Bisakah kau jelaskan padaku mengapa aku selalu merasakan hal yang tidak nyaman jika bersangkutan dengan hal yang berhubungan dengan perasaanku terhadap seseorang?" tanyanya
"Tidak mengerti maksudmu. Cobalah rubah bahasanya menjadi Bahasa Indonesia."
Dia tertawa lagi. Dan ya, dia selalu terlihat manis setiap kali melakukan hal itu. Aku berharap bisa melihatnya tertawa lebih lama.
"Memangnya aku pake bahasa Urdu?!"
"Kedengarannya bahasa Ibrani." kataku tersenyum.
Dia pun tersenyum ke arahku sebelum akhirnya senyum itu memudar kembali bersama kalimat yang kemudian dia ucapkan. Terlalu banyak yang dia khawatirkan.
"Begini, aku tidak nyaman jika ada seseorang berusaha mengenalkanku dengan seseorang."
"Bukankah hal itu bagus? mengingat kau mengatakan kau butuh teman."
"Karena aku selalu tidak berhasil."
"Jadi apa masalahmu?"
"Aku juga tidak tahu. Haruskan aku menemukan jawaban itu?"
"Ya" jawabku.
"Bagaimana?"
"Ikutilah dia!" tunjukku pada sebuah jam besar yang ada tidak jauh dari hadapan kami.
"Maksudmu waktu?"
Aku mengangguk "Cerdas!"
"Aku mengikutinya setiap waktu tapi tak ada jawaban selain keruwetan masalahku sendiri. Sedang aku semakin tidak punya siapa-siapa."
"Karena kau mengikutinya dengan cara yang tidak benar."
"Bagaimana bisa kau mengatakan itu?" aku melihat dahinya berkerut tidak setuju.
"Ikutilah dia dengan perayaan. Tak usah kau pikirkan bagaimana perasaanmu saat itu. Ikuti saja dengan bersenang-senang."
"Kau yakin aku tidak akan menyesal?"
Aku menggeleng "Tentu saja jika kau ingin bahagia selalu menjadi temanmu, kau tidak mungkin menyesal. Bahkan untuk malam ini."
Dia terdiam tidak menjawab
"Kau berhak bahagia." ujarku sungguh-sungguh.
"Aku tahu. Itulah alasanku untuk pergi."
"Tapi menurutku hal itu tidak banyak membantu."
"Kenapa kau berkata seperti itu?" tanyanya. Aku bisa melihat kesedihan di matanya.
Aku menghela napasku. "Pergilah untuk mencari tahu kenapa dan ada apa dengan dirimu. Kau tidak akan pernah tahu sampai kau bertemu dengan orang-orang yang berbeda dengamu. Tapi ingatlah kata-kataku, kebahagiaanmu sebenarnya ada di sini." Aku menaruh tanganku di dadaku. "Karena dimanapun kau mencari, kemanapun kau berjalan dan berlari kau tidak akan merasakan bahagia jika kau belum bahagia dengan dirimu sendiri?"
Matanya menerawang seperti merenungi kata-kataku barusan.
"Apa menurutmu tidak ada seorang pun yang mengkhawatirkanmu?"
Dia menggeleng. "Tidak ada."
"Kau yakin? Karena menurutku, pada dasarnya kita di dunia ini tidak pernah benar-benar sendiri."
"Ingin rasanya aku mempercayai itu."
"Memangnya apa yang terjadi padamu sampai kau tidak mempercayai hal itu?"
"Kau tidak tahu apapun."
"Baiklah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar