Kamis, 14 Juli 2011

Bintang Kembar


Aku terdiam di jendela kamarku. Memandangi gemerlap langit gambaran yang tidak bisa terbaca olehku. Wajahku masih saja tengadah ke arah bentangan langit yang terlihat kacau balau dengan segala kesempurnaannya. Apa sebenarnya yang terjadi pada mereka?. “Bintang kembar... kenapa kau tidak juga terlihat?” ucapku dalam hati. Bertanya sejak tadi, apa yang akan terjadi dengan mereka atau salah satu dari mereka.
Aku belum juga mau menurunkan kedua tanganku yang menopang daguku, Aku bersandar di atas meja rias tepat berada di samping jendela terbuka itu, hingga ada suara yang sangat kukenal mencoba mengagetkanku.
“Hai... Ra...”, panggilnya lembut.
Kita masih saling bertatapan untuk beberapa saat. Seperti sudah sangat lama tidak melakukan hal itu. Tak lama kemudian, dia menaikkan alisnya sembari tersenyum.
“Apa kabar, Ra?” tanyanya santai sambil tetap berdiri di depan pintu kamarku sembari bersandar.
“Sam!!”, sontak aku bangkit dari bangku rias di kamarku dan langsung memeluknya. “Baik! Kamu kemana aja, Sam? Aku kangen banget sama kamu!”
Entah apa yang membuatnya berubah. Setelah kejadian itu, aku tahu, dialah yang paling terluka. Tetapi, saat itu ketika aku melihatnya setelah sekian lama menghilang, dia masih seperti dulu.
“Aku di sini kan sekarang...” Sam balas memelukku dan mencium pipiku. “Kamu sudah semakin besar saja,”.
“Kamu jahat, ngga pernah pulang!” aku mulai tidak bisa menyembunyikan tangisku.
“Maafin aku ya, Ra..” ujarnya masih sambil memelukku. “Apa semua baik-baik aja?”
“Baik juga..”
“Papa bagaimana?”
“Iya... Papa sehat.”.
“Sudah! Jangan nangis gitu...ntar ilang cantiknya.” Dia tertawa sambil menggodaku.
“Biarin..!! Aku kangen! Aku seneng banget kamu ke sini!”
“Ya, memang itu tujuan aku” 
Setelah beberapa saat aku mencoba melepaskan pelukannya, tapi masih sedikit malas tetap merangkulnya, seakan tidak mau kehilangannya sekali lagi.
“Sam... Jangan pergi lagi, please...!” ucapku sungguh-sungguh.
“Iya..,” dia terlihat mengangguk lemah.
Hapir dua tahun Sam tidak pulang ke rumah. Dia tinggalkan begitu saja bangku kuliahnya. Dia tinggalkan rumah dan pergi entah ke mana. Sam adalah abangku yang paling tua. Setelah kecelakaan tiga tahun lalu, aku tahu Sam seperti tidak bisa memaafkan dirinya sendiri. Bahkan, mungkin sampai sekarang.
“Rumah ini benar-benar masih seperti dulu ya, Ra...”
“Ngga Sam... Beda. Karena ngga ada kamu di sini.” Kita berdua kini sudah duduk di bangku teras belakang favorit keluarga dulu.
Dia tertunduk sebentar lalu menatap ke depan ke arah deretan pot-pot anggrek dengan wajah datar, namun seperti menyembunyikan ketertarikannya.
“Anggrek-anggreknya kamu yang ngerawat?” Aku tahu dia akan menanyakan hal itu. “Makin banyak dan makin indah dilihat. Pinter juga sekarang kamu ngerawatnya, Ra..”
“Bukan aku yang ngerawat, tapi Tante Inne.”
“Owh...” jawabnya terdengar malas.
Tante Inne adalah istri papa yang baru. Dua tahun lalu papa memutuskan untuk menikah lagi. Aku tahu, Sam sangat membenci itu. Baginya tidak adil, bagaimana bisa papa begitu mudah memasukkan orang asing, menikah dengannya, dan melupakan mama begitu saja. Jangankan hadir ke acara pernikahan papa, menerima telepon dari papa juga dia tidak mau. Setelah itu, Sam benar-benar seperti tidak ingin ditemukan oleh siapapun. Walau begitu, dia masih suka kirim sesuatu padaku dengan caranya yang misterius, aku tidak akan bisa balik menemukannya atau bahkan membalasnya.
Seringnya Sam cuma kirim kabar kalau dia baik-baik saja. Hanya mengirim beberapa kata “Aku kangen, Ra!” atau “Belajar yang benar, Ra”. Atau “Jagain Papa, Ra”, yang seringnya dia titipkan ke pembantu, tukang kebun, atau siapapun kecuali aku, papa, dan Tante Inne.
“Gimana kuliah kamu?” tanyanya.
“Baik.” Aku mengangguk.
“Pasti banyak yang naksir kamu ya, Ra” ujarnya menggodaku lagi. Jahil seperti biasa. Namun, hal itulah yang selalu aku rindukan dari dirinya.
“Adiknya siapa dulu, dong” balasku.
“Hahaha… Pasti!” Sam tertawa santai sekali saat itu.
“kamu selama ini ke mana saja, Sam?” wajahku tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran terhadapnya.
“Maafin aku, Ra kalau selama ini aku sudah bikin semua khawatir. Aku cuma ingin buktiin sama diri aku, mama, juga  El, kalau aku bisa jadi lebih baik. Aku sudah kerja sekarang, Ra”, ujarnya sambil menatap ke arahku.
“Oh ya?!”
“Iya. Di perusahaan multimedia. Aku jadi ilustrator tetap di situ.”
“Aku tahu, memang jiwa kamu sejak dulu ada di dunia itu, Sam.”.
“Iya Ra... Aku menyadari itu sudah lama. Cuma dasarnya aja aku ngga bener...—”
“Memang siapa yang anggap kamu tidak benar sih, Sam..?!”, ujarku memotong kata-katanya. “Kamu tetap abang terbaik di mata aku”.
“Dulu aku hanya  bisa nyusahin mama sama papa aja, Ra...”, kemudian terdengar dia menghela napfas. “Mama dan El meninggal juga gara-gara aku”.
“Sam... Kamu kok ngomong begitu sih?”, keluhku padanya sekali lagi. Aku mengernyitkan alisku, sama sekali tidak setuju dengan kata-katanya tadi.
El adalah abangku yang lain. Dia adalah adik kembaran Sam. Meski  wajah mereka sangat mirip, sebenarnya mereka sangatlah berbeda. Sejak SMP, Sam dan El memintaku untuk mulai memanggil mereka dengan   nama saja. Meski  papa dan mama tetap menyuruhku memanggil mereka dengan sebuatan abang, aku terkadang memang merasa lebih dekat dengan panggilan nama itu. Menyetujui sebuah kesepakatan dengan mereka. 
Sebelum kecelakaan itu, kita semua tahu kalau hubungan papa dan mama  sudah sejak lama tidak harmonis. Seringkali mereka bertengkar. Kalau sudah begitu, biasanya El yang membuatku tenang, karena El lebih sering berada di rumah ketimbang Sam. Namun aku tahu, Sam menjagaku dengan caranya yang berbeda. Dialah yang suka menjemputku dari sekolah atau kegiatanku di luar sekolah. Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak teman sekolahku ketika itu jatuh hati dengan abangku satu itu. Sam dan El sebenarnya sama. Bagiku, mereka berdua adalah seperti bintang kembar.
Sampai suatu hari, akhirnya mama memutuskan bercerai dengan papa. Mama terlalu sibuk bekerja hinggai tidak ada waktu untuk papa, begitu juga sebaliknya. Namun kala itu El, memiliki sebuah ide:; mencoba memperbaiki hubungan mama dan papa. Kita berencana liburan bersama ke sebuah puncak gunung di daerah Bandung Selatan. Dia dan Sam sudah merencanakan kejutan untuk keduanya. Saat itu aku baru saja lulus SMP. Tidak terlalu tahu rencana apa yang sebenarnya terjadi antara kedua abangku Sam dan El.
Aku dan papa berangkat dari rumah. Sementara, Sam dan El menjemput mama dari kantornya. Mereka sudah menyewa sebuah villa di sana, nantinya vila itu akan kami singgahi selama akhir pekan sesuai rencana.
Akan tetapi, rencana itu tidak pernah terwujud. Mobil yang dikendarai Sam tergelincir di tikungan jalan berkelok-kelok terjal itu. Setelah kejadian itu, Sam sempat kritis selama dua hari. Parahnya lagi, setelah mengetahui mama dan El tidak bisa diselamatkan, Sam seperti orang kesetanan. Meraung dan menangis setiap hari, berteriak, mengapa bukan dirinya saja yang mati saat itu. Hampir setengah tahun Sam akhirnya bisa keluar dari traumanya itu.
“Aku belum bisa maafin diri aku sendiri, Ra..., sampai kapan pun. Mama dan El lebih baik dari aku, dan seharusnya bukan mereka yang mati tapi—“
“Sam... Stop deh! Aku tidak ingin dengar itu lagi. Memang abang yang bisa putuskan siapa yang harusnya mati atau hidup?”
“Tapi, cuma karena kamu aja sekarang aku mau bertahan, Ra...”
“Rara tahu, tapi bukan begitu caranya abang memperlakukan diri abang sendiri..”.
“El sering dataeng di mimpi-mimpi aku, Ra. Dia selalu bilang pesan yang sama.”
“Memang apa pesannya?”
“Supaya selalu jagain kamu”
“Cuma Rara?”, tanyaku mencoba menyakinkan.  Namun, dia hanya mengangkat bahunya lalu terdiam lagi.
Ketika menginjak SMU aku baru mulai mengerti akan hal itu. Jika digambarkan hubungan Sam dan El, mereka seperti bintang kembar, saling bergantung satu sama lain. El yang lebih diam dari Sam, El yang lebih pintar dari Sam, El yang lebih dicintai oleh papaku karena sikap penurutnya, nyatanya tidak bisa jauh dari Sam. Sam lebih berani dalam hal apapun., Dia “sembilan” di mata teman-teman wanitanya., Banyak disukai orang karena sikapnya yang ramah, lebih mudah bergaul, dan lebih  ekpresif.  Selain itu juga, Sam sangat terlihat melindungi El dan aku.
Kalau dalam astronomi, mereka dua buah bintang saling mengelilingi. Beredarnya bintang kembar itu saling berdekatan, atau bisa dibilang, mereka berjalan seiring. Keduanya bertukar gas melalui aliran pasang surut khatulistiwa yang berubah bentuk. Pasangan bintang kembar dapat terdiri dari segala jenis, dan kerap sekali tidak serasi.: Bintang merah maha raksasa, atau bintang mirip matahari yang di kenal dengan si kerdil putih. Tetapi anehnya, semua anggota dalam pasangan yang tidak serasi itu, sangat mungkin lahir bersamaan.
El mirip bintang merah raksasa, sedangkan Sam mirip bintang putih kerdil di mata papa. Entah mekengapa, dulu Sam begitu menganggap pandangan papa tentang dia dan El. Padahal, itu justru sering membuat dirinya sakit. Sampai akhirnya papa menikah lagi., Di situlah puncaknya Sam benar-benar kecewa.
“Papa sudah punya anak, Sam..”, sedikit ragu aku memberitahunya.
“Oh...”, dia memandangku sebentar.
“Namanya Rayan. Tapi sekarang dia masih di rumah Tante Inne.”
“Memang rumahnya di mana, Ra?”
“Pasar Minggu.”.
“Hmm..… kapan-kapan kita ke sana ya, Ra.”. Aku mengernyitkan dahiku sambil tersenyum, lalu akhirnya mengangguk juga.
Dari pembicaraan pagi itu, Sam pergi lagi. Namun, kali ini dia meninggalkan alamatnya. Ternyata Sam mengontrak tidak terlalu jauh dari rumah. Pantas, terkadang aku masih merasa dia ada di sekeliling mengawasi aku atau papa. Tapi, dia masih belum ingin papa mengetahui alamatnya.
“Jadi Sam ke sini tadi, Ra?” Tanya papa sewaktu pulang dari kantor.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Kenapa ngga telepon papa sih?.  Apa sekarang dia masih belum mau ketemu papa?”
“Ngga, pa... dia bilang nanti mau ketemu papa kok.”.
Papa menghela nafasnya., Aku tahu, meski begitu papa juga sayang sama Sam. Selalu memimpikan kapan dia kembali ke rumah. Papa sering membicarakan Sam dan El di depan Tante Inne dan keluarganya.
 Ketika Sam kembali dan aku berpikir, kalau Sam sudah berubah, ternyata dirasakan papa juga. Sam paling tidak suka mengikuti aturan apapun yang ada di dunia ini. Jika bukan karena El yang bicara, dia lebih sering tidak mau mendengarkan. Meski Sam terlihat lebih tegar di luar, nyatanya dialah yang paling sering merasa takut. El pernah mengatakan itu padaku,, kalau di balik sikap cuek dan tidak pedulinya Sam, dia punya rasa takut. Takut kalau tidak bisa melindungi El dan aku sebagai saudaranya.
“Papa ketemu Sam, Ra!” Kata papa sore itu sambil meletakkan kunci mobilnya di meja. Wajahnya penuh  senyum. Di belakangnya, Tante Inne berjalan mengikutinya sembari menggendong Rayan.
“Dia ke kantor papa?”, tanyaku.
“Papa ketemu dia saat  ziarah ke makam mama dan El.”
“Papa ziarah? Kok ngga bilang-bilang?..”
“Iya maaf, Ra... awalnya juga ngga niat. Cuman Tante Inne tiba-tiba saja minta belok ke sana. Papa ngga nyangka bakal ketemu Sam di sana.”
“Sam dari mana memang, pa?”
“Lagi sambil kerja, katanya perusahaan yang lagi dia tangani buat iklan dekat situ, karena itu dia mampir.”
Aku terdiam, menunggu reksi papa selanjutnya. Aku tahu, masih banyak kata-kata yang ingin papa ceritakan tentang Sam.
“Sam sudah bawa mobil sendiri sekarang, Ra..”
“Bukan mobil dia, Pa.”
“Yah, memang dia bilang mobil kantor, ..tapi tetap bagus kan, Ra, ..akhirnya dia menetap lama di sebuah kantor. Dia bisa jadi orang yang dipercaya.”
“Iya! Tadi juga Rayan sangat senang ketemu Sam,” kini giliran Tante Inne berpendapat.
“Oh ya?!”
“Seperti sudah lama tidak bertemu kakaknya sendiri.”
Papa mengangguk. Terlihat kini wajah bangga untuk anak lelaki yang dulu sering dia bandingkan dengan saudaranya sendiri. Aku tersenyum.
Setelah pertemuan itu, Sam sering datang ke rumah. Namun begitu, dia masih belum mau memberitahukan di mana rumah kontrakkannya pada papa. Papa ingin sekali dia kembali ke rumah. Sudah tentu, aku sangat setuju dengan papa. Namun, Sam  bilang, dia ingin mandiri dulu. Jika semuanya sudah dia buktikan, dia mungkin akan mempertimbangkannya. Meski seringkali aku bertanya padanya, sebenarnya dia ingin membuktikan apalagi?! Kehadirannya di rumah lebih dari pengharapan aku dan papa dari apapun. 
Sore itu, sehabis maghrib aku telepon papa. Tiba-tiba saja mobilku mogok di jalan. Papa bilang harus rapat hingga malam. Tante Inne juga masih ada di rumahnya di Pasar minggu. Meski awalnya sedikit takut, aku mencoba mengendalikannya sendiri. Papa meninggalkan nomor telepon sebuah mobil derek, dan aku coba menghubunginya. Belum pernah aku mengalami mobil mogok seperti itu. Entah apa yang terjadi, selain mogok, ban juga kempes. Padahal seingatku, aku cukup rajin menjaga mobil itu.
Hampir lima belas menit berlalu setelah aku telepon mobil derek.
“Maaf mba, tadi telepon mobil derek ya?”
“Iya, mas.” Aku mengangguk sambil melihat dua orang yang menggunakan seragam mirip montir mendekati mobilku. Mereka menggunakan motor.
“Masalahnya kenapa, mba?”
“Ngga tau, nih! Tiba-tiba saja mogok, sudah gitu bannya kempes juga.”.
“Sudah di cek bahan bakarnya?”
“Masih penuh, kok.”
“Ohh baik...” ucapnya sangat menyakinkan. Petugas mirip montir tadi sempat membuka kap mobilku sebentar lalu menutupnya kembali.
“Mobil dereknya?” Tanyaku pada salah satu dari mereka.
“Sebentar lagi datang..”
“Oke...” ujarku sedikit takut. Aku baru sangat menyadari kalau sebenarnya jalan yang aku lalui saat itu sangat sepi. Aku mulai terkesiap—mulai merasa takut. Awalnya aku tidak menaruh curiga, hingga akhirnya seorang dari mereka membuka tas dan aku melihat banyak benda tajam yang ada di dalamnya.
“Maaf mba kalau kami harus melakukan hal ini ke mba..”
Aku mengernyitkan dahiku ke arah mereka, tahu benar apa yang dimaksud dengan kata-kata itu. Belum sempurna aku menyadarinya, tiba-tiba saja pukulan keras mengenai kepalaku. Aku terjatuh, tapi sebelum semuanya gelap, dan aku tahu, saat itu aku dapat merasakan darahku sendiri mengalir.
Ketika itu aku seakan berada di atas titik pijakan yang belum berubah. Merasa kini seperti sedang berada di luar angkasa sambil berdiri. Siap menjajaki alam semesta. Aku tersenyum memandanginya, memang indah langit yang saat itu terlihat seperti sutera lembut berwarna merah, putih, dan biru. Bermandikan bintang-bintang kini mengelilingiku. Seperti diselimuti olehnya.
Aku lebih tersenyum lagi saat aku bisa melihat mama dan El dari kejauhan menungguku berlari ke arah mereka. Sebelum menuju mereka, aku bisa melihat jelas bintang kembar itu. Mereka terlihat begitu sempurna. Yakinku, jika bintang kembar itu sudah berada saling berdekatan, maka aku pasti berada di tempat yang aman. Ada Sam dan El yang akan selalu menjagaku. Sedetik kemudian aku berjalan pelan ke arah El yang tersenyum.
Aku khawatir sekarang. Apa sebenarnya yang terjadi. Mengapa El dan mama tidak mau berjalan menemuiku. Aku melihat bintang kembar itu sekali lagi. Ya Allah, apa sebenarnya yang terjadi? Aku menangis. Aku melihat salah satu bintang itu mati. Bintang kerdil putih meledak sangat dahsyat. Aku masih menangis karena kini aku tidak melihat El lagi. Napasku tersengal bercampur sedih mendalam. Ketika sampai di sebuah tempat, yang sama sekali  takku kenali sebelumnya, aku tetap berlari begitu saja. Tetapi, tetap saja aku belum mengerti sebenarnya apa yang terjadi.
Aku tetap berlari. Berlari sekuat tenaga dengan napas turun naik tak tentu. Nadiku seperti mau pecah., Terdorong adrenalin yang tiba-tiba saja membuncah tanpa sebab, yang belum juga aku temukan saat itu. Aku melihat sekeliling tidak ada siapapun. Menghadap ke Timur, aku hanya melihat bulan yang balik memandangku dengan bingung.
“Rara..…” aku mendengar seorang memanggilku.
“Ya..… aku di sini, El. Mama..…” aku menangis lagi.
“Rara..… Aku di sini, sayang”.
Susah payah aku berlari meraih suara itu. Hingga akhirnya, aku melihat bayangan sedikit mengabur, Sam menangis di hadapanku sambil menciumi tanganku.
“Sayang..… Bangun!.”
“Saaamm..…” panggilku sekuat tenagaku.
“Ya Allah..… Syukurlah.” ujar Sam sekali lagi.
Kepalaku pusing sekali. Tapi, aku kini bisa melihat papa, Tante Inne, dan Rayan di sekelilingku.
“Pa..… Rara di mana ?”
“Kamu di rumah sakit, sayang..”
Mungkin aku tidak bisa selamat malam itu, jika Sam tidak datang menolongku. Rupanya papa menelepon Sam dan menyuruh untuk menjemputku. Salahku juga, mengapa tidak menghubungi Sam saat itu. Sam sudah lama tidak ada, hingga hal itu masih berpengaruh.
“Aku tidak akan pernah bisa maafin diri sendiri, Ra, kalau kamu sampai terluka,bahkan pergi.”
“Tapi nyatanya, kamu  tetap abang terbaik aku.” jawabku ketika beberapa hari kondisiku mulai membaik.
“Aku janji, habis ini aku bakal pulang ke rumah.”
Aku tersenyum senang mendengarnya. Aku tahu, sam tidak bisa hidup dengan rasa bersalah lagi.
Menurut cerita Papa, dengan sekuat tenaga Sam melumpuhkan dua penjahat itu dan membawaku buru-buru ke rumah sakit. Saat itu, Sam sedang bersama teman kerjanya. Sam membawaku ke rumah sakit, sedangkan temannya mengirim dua penjahat itu ke kantor polisi.
“Sam..…berapa lama aku ngga sadar?”
“Sehari semalam. Ternyata darah aku bermanfaat juga ya buat kamu”, ujarnya sambil terkekeh. “Cuma aku yang darahnya sama kaya kamu, El itu sama kaya papa.”
Aku mencoba sedikit tidak menghiraukan candanya.
“Sam..…” gumamku sambil menghela napfas lirih.
“Iya, Ra..…”
“Aku sempat lihat Mama sama El..”.
Dia hanya cuma terdiam namun muram, Sam kemudian tetap tertegun.
“Mereka terlihat bahagia di sana. Aku juga lihat bintang kembar, Sam..” Aku melihat dahinya berkerut. “Tapi aku sedih. Mengapa bintang kerdil putih itu justru meledak?”
“Supernova..…”, gumamnya pelan.
“Apa?!”
“Iya, yang kamu lihat itu namanya supernova..Cara bintang mengakhiri hidupnya sendiri.”
“Apa karena El sudah meninggal?”
“Ra..…ngga ada hubungannya. Itu hanya delusi kamu aja. Kamu berada di alam yang berbeda waktu kamu kritis kemarin. Meski El dan mama sudah meninggal, mereka tetap ada di sini.” Sam meletakkan tangan di dadanya.
“Lalu apa yang terjadi setelah supernova, Sam?”
 “Akan ada bintang baru..…, bintang yang mengalami supernova akan terlihat sangat cemerlang. Bahkan, kecemerlangannya dapat mencapai ratusan juta kali cahaya bintang semula.”.
Mendengarnya aku tersenyum. Kini aku tahu maksudnya.
“Mengapa tersenyum begitu?” Tanya Sam setelah melihatku.
“Kamu bintang baru yang cemerlang itu Sam, sekarang..”. Sam kemudian mencium keningku “Jangan pergi lagi, please..…”
“Iya Ra..… Kali ini aku janji.”.
Setelah kejadian itu, Sam kembali ke rumah papa. Semakin lama hubungan kami semakin baik. Sebagai satu keluarga baru dan sangat aku cintai. Selamanya, aku tidak ingin kehilangan mereka lagi, Ya Allah..…”

Kenang-Kenangan..^_^


Diterbitkan oleh D'sari Magazine Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar