Kamis, 14 Juli 2011

Tak Teridentifikasi

Dimensi-dimensi tak teridentifikasi masih berusaha memelukku. Bertanya padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Otakku tertanam sangat dalam di alam bawah sadar dengan mimpi-mimpi yang tersusupi.
Aku menghela nafas, menyerah pada gravitasi yang masih menyandera kaki-kaki.
Berdiri di antara lorong-lorong yang sunyi.

Apa mungkin mereka masih memaksaku? menyetujui kata-katanya, bahwa "Tak ada yang lebih biru dari rasa rindu."
Lalu apa yang terbela dari rasa hampa?
Mengapa kau biarkan hatimu mengharu biru seperti itu.
Padahal suaranya masih menggema dengan jelas, tertangkap oleh saraf-saraf yang terbuka, bawasannya tak ada harapan di sana.

Namun aku masih belum mengerti.
Tak teridentifikasi seperti fikirannya. Bahkan kabutpun terlihat muram ketika menyelimutinya. Aku hanya bisa mengintip bayangannya melalui cermin.
Tak berani menatapnya lebih lama.
Karena memang dia tak sepenuhnya nyata.
Para pemimpi sekali lagi memperingatiku.
Jangan pernah sedikitpun menangisinya.
Karena semua kegalauan sudah digariskan.
Semua kesakitan sudah direncanakan.
Dan semua kebahagiaan sudah disiapkan.

Beranda jiwanya seakan jauh dari gerak-gerik energi.
Kosong dari paradigma yang sepi.
Terisolasi oleh dugaan yang terperinci.
Bahwa kemungkinan dan kepastiaan adalah sesuatu yang tak teridentifikasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar