Jumat, 01 Juli 2011

Wajah-Wajah Tanpa Nama

Selama hampir setahun lebih saya bekerja di suatu publishing house di Permata Hijau. Sudah nasib rumah yang jauh dari kantor sehingga perjalanan menuju kantor setiap hari juga butuh perjuangan yang kadang mudah kadang sebaliknya, mengingat transportasi di Indonesia terutama di Jakarta yang selalu carut marut dengan kemacetan karena jumlah kendaraan yang over loaded.

Pada masa awal bekerja di sana, saya menggunakan transportasi normal mikrolet, Bis besar melewati jalan protokol 3 in 1 Gatot Subroto lalu melanjutkan kembali dengan mikrolet lagi menuju kantor.

Jangan tanya bagaimana beratnya aksi mengejar-ngejar Bis setiap hari. rasanya energi untuk dua hari habis begitu saja sebelum habis siang. Dan saya yakin bukan hanya saja yang mengalami itu. Hampir semua masyarakat Jakarta minimal pasti pernah merasakan hal seperti itu. Belum lagi ketika jam pulang kantor tiba yang terkadang kemacetannya lebih parah ketimbang pagi hari.

Jalan protokol Senayan, Semanggi, Gatot Subroto sepanjang jalan itu, jangan pernah harap tidak macet. Selalu macet bahkah jika kita melewatinya di pukul sepuluh malam sekali pun.Sempat stress dan setiap bulan pasti jatuh sakit karena rasa kecapean yang berelebihan karena di perjalanan seperti itu, tapi alhamdulillah..Allah masih memberi kekuatan semuanya.

Sampai suatu hari saya mengeluh tentang hal itu dan ipar saya (Mel) memberitahu saya tentang alternatif transportasi yaitu dengan menggunakan kereta KRL ekspres. Meski jauh lebih mahal, tapi benar-benar jauh lebih nyaman dan cepat dengan menggunakan transportasi tersebut. Hal itu membenarkan sebuah kalimat kalau "Waktu berbanding lurus dengan uang."semakin cepat maka semakin besar uang yang harus kau keluarkan.

Setelah itu pun saya lebih memilih transportasi kereta (meski pernah telat atau tertinggal), tapi saya terun setia dengan satu tranportasi itu.
Jangan katakan kalo menggunakan trasportasi satu ini lepas dari keluhan, tidak juga! telat kerena mogok dan gangguan juga sering dialami oleh kami pengguna kereta.

Tapi saya tidak akan berbagi akan hal tersebut, yang ingin saya ceritakan bagaimana saya bertemu dengan orang-orang yang sama setiap harinya tanpa tahu nama-nama mereka.Wajah-wajah yang sama tanpa kita tahu mereka kerja dimana. Kita bertemu di tempat yang sama; Stasiun, mikrolet, atau gerbong kereta.

Perkenalan saya dengan Mba Novi Jakarta Post atau mba Novi Pondok kopi juga bermula di kereta. Mba 'Novi-Novi' itu adalah perkecualian saya mengenal nama-nama..^_^ Bukan saya tidak mau mengenal nama dari wajah-wajah yang sangat saya kenali selama perjalanan saya itu, tetapi saya juga tahu terkadang mereka juga tidak berniat berkenalan. Terkadang ingin sekali memulai komunikasi baru dengan mereka tetapi entah dari saya juga belum juga dan selalu ada keraguan kalau mereka sudah terlalu capek meladeni percakapan atau komunikasi ringan karena pasti pertanyaannya begitu standar, kerja dimana? rumahnya dimana? kerja apa atau seputar itu saja.

Mungkin hanya dengan mba Novi (The Jakarta Post) saya suka cerita apa pun tentang uneg-uneg tentang kacaunya Jakarta, orang-orangnya atau sebagainya, bahkan kerja. Tetapi lebih sering tentang seputar perjalanan dan orang-orang yang saya atau dia temui.

Ah ya, selain itu ada sebelumnya bapak-bapak yang sempat menjadi teman baik saya bercerita ketika menunggu kereta di Stasiun Tanah abang. Menegur saya kalau saya belum sholat maghrib padahal saya sudah sampai di sana. Sedihnya saya sudah jarang sekali melihat bapak itu berdiri, duduk, atau berada di tempat-tempat biasanya kami menunggu. Mungkin dia sudah berhenti dari kerja atau entahlah saya juga tidak tahu.

Sama dengan saya yang hanya mengenali waja-wajah tanpa nama, ada orang-orang yang memastikan dirinya kenal dan hapal dengan saya meski sama-sama tidak tahu namanya.

Ada supir angkot 09A jurusan Tanah Abang-Kebayoran. Saya mengenal wajahnya beberapa kali menaiki angkotnya pada waktu yang sama. Awalnya saya tidak terlalu menyukainya karena terlalu banyak omong dan suka ngetem, tetapi malah dia yang mengenali saya dengan baik. Mengenali dimana saya biasa turun dan terkadang begitu saja dia bercerita tentang tingkah polah penumpangnya yang terkadang membuatnya sebal.

Pernah suatu hari saya dalam keadaan belum sarapan dari rumah dan saya kelaparan. Tepat di Slipi saya tahu ada satu toko kue yang menjual kue-kue seperti lontong dan kue-kue lainnya dan saya ingin sekali turun dan beli. Hapal dia juga biasa ngetem, lalu karena merasa abang itu sudah mengenal saya, dengan memberanikan diri saya bertanya.
"Bang, masih lama ya berhentinya?"
"kenapa emang neng?"
"Saya mau beli kue dulu di toko itu ya, nanti saya naik lagi" memastikan kalau saya tidak akan meninggalkannya begitu aja tanpa membayar.
"Oh iya neng gapapa..beli aja! Saya tungguin"

Dengan secepat kilat saya turun lalu membeli dua kue dan ketika saya keluar toko itu, suara klakson mobil yang ditujukan untuk saya terdengar jelas, seperti mobil jemputan sekolah yang menunggu siswanya untuk sampai ke sekolah. Sambil naik dan mengucapkan terima kasih saya tersenyum-senyum sendiri membayangkan kejadian beberapa detik yang lalu itu kalau saya barusan dijemput oleh sebuah angkot!!
LOL!!

Satu orang lagi yang mengenal saja tanpa mengenal nama saya. Orang itu adalah penjaga sepatu dan tas titipan orang-orang yang sholat di stasiun Tanah Abang. Uniknya dia mengenali saya dari sepatu-sepatu saya yang saya kenakan. Saya biasa menitipkan sepatu atau sendal saya sebelum masuk dan ambil air wudu untuk menunaikan maghrib sebelum akhirnya kereta jurusan saya datang beberapa menit kemudian.

Dalam seminggu terkadang saya mengganti sepatu saya lebih dari tiga kali kalau saya sedang ingin memakai sepatu yang terkadang menurut saya pas dengan baju yang saya kenakan. Tidak banyak yang dipikirkan, tapi ya senyamannya saja saya mengenakan sepatu apa hari itu.

Karena menurutnya saya terlalu sering mengganti sepatu, dia pernah mengomentarinya tanpa berniat menegur saya..
"Banyak banget sepatunya, kemarin hitam, kemarin lagi coklat, merah,." sambil menatap wajah saja, menyakinkan saya kalau dia sedang bicara dengan saya
"Eh?" jawab saya sambil tersenyum menyadari sesuatu kalau di antara keramaian stasiun Tanah Abang yang penuh dengan orang yang tidak saya kenal, ada yang mengenali saya, wajah saya melalui sepatu-sepatu saya.

Padahal, setiap saya memasuki mushola untuk sholat baik dia atau saya tidak pernah terlibat suatu percakapan apapun, meski itu hanya sebuah pertanyaan yang terkadang saya butuhnya jawabannya "Sudah sampai mana kira-kira kereta Bekasi?" sebelum akhirnya sang operator mengumumkannya.

Yang mengagetkan saya adalah beberapa waktu lalu, sekitar dua minggu saya sering lembur karena Deadline sehingga pilihan tranportasi pulang saya hanya Busway dari Slipi sehingga saya tidak menggunakan kereta. Dan ketika saya sudah tidak lembur dan pulang dengan menggunakan kereta api lagi, tanpa bicara saya menyodorkan sepatu saya untuk dititipkan sebelum solat, maka lelaki itu menegur saya dengan ramah
"Halo! kemana saja..tumben agak telat sholatnya." tegurnya pada saya seperti kita sudah mengenal satu sama lain.
"Eh, iya..hmm.." jawab saya agak bingung menjawabnya sambil tersenyum ke arahnya.

Terus terang, sampai sekarang saya tidak tahu nama orang-orang itu, lelaki muda penjaga sepatu di Mushola atau supir angkot yang membolehkan saya turun lalu naik lagi..^_^ otak ingatan saya mencatat dengan baik wajah orang-orang itu.

Pertemuan-pertemuan yang mungkin terkadang saya pikir tidak ada artinya seperti itu, terkadang malah yang punya kesan tersendiri dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar